Kita Masih Satu

Aku pernah liat iklan di sebuah jembatan penyebrangan di jalan Kuningan. Tulisannya: Matematika + Bahasa Inggris = Sukses. Jujur, sebagai anak bangsa, warga negara Indonesia, aku miris banget ngeliat iklan ini. Kok kayaknya dengan bahasa sendiri kita jauh dari sukses, ya?

Sebenernya kemirisan aku nggak cuma gara-gara iklan ini. Ngeliat di keseharian juga udah sedih banget. Aku sering bertanya-tanya dalam hati: emangnya aku tinggal di mana, sih?

Orang tua sekarang lebih bangga kalo dipanggil “Mom & Dad” atau “Umi dan Abi” sama anak-anaknya. Sebangga itu juga mereka masukin anak-anak mereka ke sekolah-sekolah bertaraf internasional. Mereka juga bangga kalo anaknya yang masih kecil-kecil udah fasih berbahasa asing.

Padahal, mereka adalah generasi penerus bangsa. Kalo sebagian besar mereka lebih mencintai dan lebih pandai bahasa asing, gimana nasib bahasa Indonesia? Bukannya nggak mungkin kalo lima puluh tahun yang akan datang bahasa Indonesia cuma tinggal kenangan.

Waktu dulu, pemuda Indonesia udah bersepakat, kita punya bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Waktu itu, taun 1928 masih masanya Indonesia dijajah Belanda. Bahasa Belanda juga banyak dipake sama kaum terpelajar, dan dikenal di mana-mana. Secara logis, bisa aja mereka memproklamirkan Bahasa Belanda sebagai bahasa persatuan.

Kenapa kita gak pake bahasa Belanda aja? Tentu karena kita masih punya harga diri untuk jadi bangsa yang merdeka, bebas dari penjajahan manapun, termasuk penjajahan bahasa.

Aku sering iri sama orang China yang punya toko bangunan deket rumahku (meski sering sebel juga). Mereka, sampe hari gini, masih sering ngobrol pake bahasa China. Mungkin emang mereka nggak menghargai bangsa Indonesia, nggak menjalankan peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Tapi itu semua ngebuktiin kalo mereka bangga sama tanah air mereka yang jauh di sana. Dan kita?

Sama temen yang jelas-jelas mukanya lokal aja kita sering pake bahasa asing. Untuk bilang “maaf”, kita lebih suka bilang “afwan” atau “sorry”. Kayaknya, kalo gak asing, gak keren.

Pernah nggak kita kepikir, kenapa kita lahir di Indonesia, atau berdomisili di Indonesia? Nggak mungkin Allah menurunkan kita “begitu aja” di sini. Pasti DIA punya maksud tertentu. Jelas dong, Allah kan gak akan menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Termasuk juga kita di Indonesia.

Bisa jadi, salahsatu dari kita adalah agen perubahan masa depan. Atau mungkin anak-anak dan cucu-cucu kita yang jadi agen perubahan itu. Kita nggak pernah tau. Bahkan, orang sehebat Bung Karno aja juga belom tentu ngeh keberadaannya di bangsa ini, sampe akhirnya beliau jadi orang paling berpengaruh di Indonesia.

Sekarang, banyak banget wilayah yang pengen merdeka. Kenapa sebabnya? Mungkin cuma mereka dan Tuhan yang tau. Tapi, apa mereka lupa sama sesepuh mereka yang dulu hadir di Kongres Pemuda 1928?

Dulu, segala macem Jong berkumpul buat memproklamirkan kalo nusa bangsa kita satu: Indonesia. Sekarang, setelah para pendahulu itu berpisah dan wafat, Jong dari buwanyak suku heboh pengen merdeka.

Whew… ke mana semangat yang dulu itu, ya? Yang pernah memerdekakan Indonesia. Pendahulu kita emang udah pada dipanggil Yang Maha Kuasa, tapi jangan sampe mereka nangis darah di dalam kuburnya, karena kita menyia-nyiakan perjuangan susah-payah mereka.

Sebagai anak bangsa yang tinggal menikmati enaknya aja kemerdekaan itu, udah seharusnya kita berbuat yang terbaik, dan gak malu-maluin. Berkaca sama bangsa asing boleh. Tapi tetep jiwa Indonesia. Dan yang terpenting, nggak kayak kacang lupa sama kulitnya. Nggak lupa juga sama identitas bangsa sendiri.

Kita masih satu. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Apapun adanya bangsa ini, Indonesia masih tetep tanah air kita. Hasil tanahnya kita makan, airnya kita minum, udaranya kita hirup. Layakkah kita caci maki bangsa sendiri dan ngebanding-bandingin dengan bangsa lain?

Jangan cuma ngomong! Kita harus berbuat supaya bangsa kita terpandang keren sama dunia.

Kapan-kapan, kita akan bangga dan sangat bersyukur telah “diturunkan” Tuhan di Indonesia.

4 responses

  1. sebagai alumni ABA b.ing bukan berarti gx cinta tanah air sih, tp emang miris juga liat anak” sekarang yg gx bangga ma bahasa sendiri. skul di skul bertaraf inter dsb. bahkan klo anak’ ditanya arti “INDONESIA” tuh apa aja gx tau.. -,-

    29 Agustus 2014 pukul 2:56 pm

    • Pancasila aj ga apal. Kan nyedihin bgtz

      30 Agustus 2014 pukul 6:28 pm

  2. Wah iyaa, miris memang kalo mikir fenomena itu

    8 September 2014 pukul 8:18 pm

  3. Wah miris memang kalau mikir masalah ini

    8 September 2014 pukul 8:19 pm

Tinggalkan komentar